
Pernah dengar istilah
'Merdeka atoe Mati'
Tulisan ini pasti kita temukan di dinding, gapura dan berbagai coretan mural bertema kemerdekaan menjelang 17 Agustus. Coba lihat arti tulisannya. Saya mencoba untuk memahami arti tulisan itu. Pilih merdeka atau mati bukannya sama-sama sengsaranya, ya. Tapi bukannya kita harus memilih. Pilih bebas atawa pilih tergolek nggak ngapa - ngapain alias mati. Ya... mati, mati rasa, mati hati, mati otak dan mati mati yang serem laennya.
Tapi saya tidak akan membahas tentang mati dulu. Toh, bukan rahasia umum lagi kita bakalan mati cepat atau lambat. Jadi nggak perlu dibahas disini
Setiap tahun bulan Agustus membawa kita kepada dua peristiwa yang menjadi dilemma [Termasuk saya juga merasakannya]. Pertama. Bulan ini lagi ramai-ramainya semua orang yang ingin mengenyam bangku pendidikan berusaha untuk memasukinya. Ribut cari utangan sana-sini untuk menebus uang pangkal. Kedua, bulan ini juga kita meneriakkan pekik kemerdekaan negara kita. Entah merdeka dari mana, atau orang-orang hanya tahu kita merdeka dari pengertian 'Sing penting nggak onok bedil gawe mateni uwong' alias penjajah, gitu--ganti-- Merdeka tuh apa yah.....
Sampai sekarang saya masih dingin dan nggak terlalu yakin dengan kemerdekaan. Secara, gitu saya belum bisa menemukan arti merdeka yang beneran. Atau mungkin juga saya masih terkurung dalam rutinitas yang menyita waktu bersenang-senang saya *alah. Makanya bagi saya merdeka adalah bisa sedikit meluangkan waktu untuk bercumbu dengan diri sendiri. Bagi saya itu sudah cukup. Menyenangkan diri sendiri bukan kejahatan kan?
Arti hidup merdeka bisa berlainan untuk setiap orang. Tidak harus distandarkan dengan pengertian merdeka secara fisik. Atau merdeka dalam pengertian ekonomi, sosial, budaya dan laen-laen seperti yang dilontarkan orang-orang sok oratoris bicara tentang merdeka. Opini yang mereka gulirkan tetap itu-itu saja setiap tahun dan nggak pernah berubah.
' ....Saudara-saudara, ironis sekali. Sudah 63 tahun kita menghirup udara kebebasan, tapi kita belum merdeka dari kebodohan, kemiskinan dan kelaparan bla..bla..bla....." dan seterusnya.
eghm..... sstsss.... hfuf...
Okay, deh. Saya akui itu bener adanya. Bukannya kisaran usia 63 itu harusnya sudah menikmati masa istirahat, ongkang-ongkang kaki, bercanda dengan keluarga dan menekuni hobi yang dulu nggak pernah tersentuh. Atau masih terlalu muda untuk kisaran usia sebuah negara seperti Indonesia. Tunggu, bagaimana dengan Malaysia yang usianya jauh lebih muda dari Indonesia. Kemajuan yang menakjubkan sudah mereka tunjukkan di kancah dunia.
sebentar.......
bisa tidak sih, kita menguraikan arti merdeka lepas dari unsur yang berbau politik. Balik yuk, liat diri kita. Lihat dulu deh. Sudah........ oh, belum. Lihat lebih teliti lagi. Sudah......
yak.....
Ternyata kita belum merdeka ya. Ibaratnya kita belum menemukan siapa diri kita sebenarnya. Akui saja kalau kita masih dituntut untuk memenuhi standar hidup lingkungan hidup kita. Mulai dari gaya berpakaian, penampilan fisik yang ikut-ikutan belum lagi pencapaian - pencapaian jangka panjang yang menguras energi kita. Dough...capek. Kita belum merdeka, kan.
Merdeka bagi kita bila kita sudah bisa melepaskan nepsong [nafsu, bahasanya banci banget ya] dari hidup yang terlalu menuntut. Memang manusia dituntut untuk menjadi yang terbaik. Tapi baik yang dilihat orang lain, belum tentu baik bagi diri kita sendiri dan ada baiknya jika terjadi toleransi yang harmonis dan saling membangun [gaya' gini, gue!]
63 tahun bukan waktu yang singkat untuk berubah. Seharusnya sudah ada perubahan yang bisa kita nikmati. Ada. Saya yakin tidak. Oh...ya, lupa. Mana yah buktinya kalau kita adalah warga yang friendly [ini seringnya jadi jargon pariwisata kalau orang Indonesia tuh ramah-ramah, damn! kejebak lagi] tapi beberapa tahun lalu banyak terjadi perang saudara antar suku yang mengenaskan dan jauh dari sikap ramah.
Belum lagi rentetan jadwal pemilihan umum dari satu daerah ke daerah lain yang mengundang disharmonisasi *alah* warga. Masyarakat kita mudah diprovokasi oleh ketokohan dan materi. Janji mengadakan pemilu yang aman dan tenteram jauh dari harapan. Selalu saja ada kelompok yang tidak puas dan berusaha untuk mencari pembenaran atas dirinya agar menjadi yang paling benar dan sah. Waduh.... lagi lagi kita belum merdeka. Masih ikut-ikutan.
Terlalu jauh bila kita mengurusi arti kemerdekaan yang masih menjadi komoditi politik layak jual seperti kemiskinan, kelaparan, lapangan kerja dan lain-lain. Terlalu jauh malah.
[masih] MERDEKA ATOE [sudah] MATI


Tidak ada komentar:
Posting Komentar