taste the sweetest things of life

03 Agustus 2008

Binatang yang namanya MEDIA

Saya sadar sesadar-sadarnya kalau media itu ternyata "pembunuh" yang bahkan lebih kejam dari jagal jombang. Tuh, si Ryan. Media dapat membalikkan opini yang lurus menjadi berkelok bahkan hilang sama sekali, tenggelam. Media pula yang dapat mengangkat obyek kontradiktif menjadi legal dan mendapat legitimasi super benar. Kekuatan media terletak pada konten yang disuguhkan dan mau tidak mau kita dipaksa untuk terus melihat lalu membacanya, justru feed back nya itu yang nggak asyik. Kita telat meresponnya, nggak bisa langsung ngomong dan klarifikasi. Paling banter cuma ngedumel nggak jelas. Kecuali disini.... saya masih bisa :P

- bukannya saya dulu orang media, ya -
Okay itu dulu. Walaupun ada keinginan untuk balik lagi. Menjadi bagian dari "pembunuh" ini.

Percaya, nggak.

Seperti hari ini. Saya bertamu kerumah lama dengan harapan dapat mencairkan kebekuan otak saya yang terkungkung jauh kedalam rutinitas yang mengikat dan itu-itu saja *tsah. Ini cuma silahturahmi, tapi silahturahmi yang menyenangkan. Ya..... saya anggap untuk mengisi waktu luang lah, daripada bercumbu terus - terusan dengan guling apek kesukaan saya. Bosen juga, sih. (pengen guling yang laen, neh haa...ha..ha.. )

Key, balik lagi.

"Gimana negara kaya laennya mau nyumbang Indonesia yang miskin, kalau tayangannya kayak gini terus-terusan. Ini mah, namanya bunuh diri."

Saya tercenung. Ucapan Agung bener juga. Komentar nyeleneh dari mulutnya tentang pembangunan apartemen mewah, mansion dan sejenisnya yang dilakukan oleh pengembang kenamaan plus sering muncul bareng presenter silet nyang kesohor itu.

Ini yang dibilang media berdiri diantara pagar api. Disatu sisi media adalah sumur informasi yang menyuguhkan berbagai informasi yang berkembang dimasyarakat sesuai dengan idealisme media itu sendiri. Namun disisi lain, media juga tidak menolak memasukkan unsur-unsur yang bernilai ekonomi untuk menambah pundi-pundi keuangan biar tetap eksis.

Kontradiktif. Memang. Tapi, bukannya di dunia ini banyak yang kontradiktif, ya.
Amerika saja, punya standar ganda di politik luar negerinya. Apalagi yang namanya cuma sekelas Indonesia. Bisa saja, toh. Nggak aneh.

Tapi ini tentang binatang yang namanya media. Apa saja.

Setiap hari eh... tunggu bahkan setiap saat kita di suguhi tayangan yang menjauhkan kita dari sisi kemanusiaan kita. Saya kerucutkan untuk negeri kebanggaan saya ini saja.

Geli rasanya melihat anak muda Indonesia petantang-petenteng membawa HP model terbaru tapi buatan luar. Kok ya, bangga gitu. Emang kalau buatan negeri sendiri nggak keren, gitu. Trus ini, neh. Kulit kita orang Indonesia tuh kan memang eksotis. Sweet Brown gitu, lah. Tapi banyak yang memborong produk pemutih kulit untuk sekedar tampil putih. Sengaja atau tidak, kita sudah kehilangan identitas budaya kita sendiri. Jadinya ancur, kan kalau melihat orang berkulit gelap yang dipaksakan pakai produk pemutih hanya untuk mengikuti trend seperti yang di tayangkan di media.

Tetapi media juga sudah membunuh saya. Jujur saya ikut arus meskipun susah untuk keluar karena begitu kuatnya dia menyembunyikan rasa bersalahnya. Yeah... anda boleh bilang kalau saya munafik abis.

Itulah kekuatan media untuk membunuh. Bahkan dapat membunuh idealisme kita sendiri.

Tidak ada komentar: