Eh... bener nggak sih judul yang saya kasih di atas itu (boso inggris'e bener nggak?)
Terlalu di dramatisir kali, ya. Tapi ya sudah, memang itu yang saya rasakan. Tempat yang asing banget, sih, nggak. Cuma kehidupan disana benar-benar masih jauh dari kehidupan kota yang saya sesapi setiap hari di Surabaya. Murni sekali perilaku mereka dan sifat ke-desa-an yang mereka tunjukkan. Kebersahajaan, sederhana, apa adanya, masih malu-malu menerima orang kota dan semua bentuk penerimaan yang apa adanya. It's too simple.
Tetangga saya pernah bilang selama jadi mahasiswa itu ada tiga 'kesenangan' yang akan dihadapi.
Pertama adalah ritual perploncoan alias Ospek (Orientasi Studi Pengenalan Kampus). Syukur saya sudah melalui tahapan paling menyebalkan ini di kehidupan kampus. Pembodohan terselubung keakraban. Enak aja, pertamanya saya protes. Toh bukannya nanti kita akan berkenalan di kelas dan keakraban bukan tercipta karena "pengorbanan menjadi orang gila" seperti Ospek itu. Kita kan dah gede nggak, sih.
---- Eh... gobloknya saya ikut Ospek dan terpengaruh sama kakak kelas. Bego' kan he..he.. -----
Ya, udah. Gila ya gila lah, nggak usah di inget-inget lagi.
Ritual kedua ini baru saja saya rasakan. Apalagi kalau bukan KKN atawa Kuliah Kerja Nyata. Saya protes pertama-tama (lagi-lagi), dalam ilmu komunikasi itu kan ilmu terapan, bukan ilmu teori kayak ekonomi dan hukum. So, saya bingung mau ngajarin apa ke orang-orang dusun tempat ritual kedua ini berlangsung. Awalnya agak bingung juga, tapi akhirnya saya menemukan bahan ajar yang bisa dibilang jauh berbeda dengan ilmu yang saya dapatkan di kampus. Tapi nggak apa-apa, toh dipaksakan juga ntar pasti nyambung :P
Capek, ya iyalah !!! Tapi herannya kok nyenengin ya. Disana saya kembali di getok kalau apa yang saya pikirkan tentang kegiatan semacam itu sama sekali nggak bener. Semua hal yang kita lakukan bersama-sama pasti menyenangkan dan membawa kesan yang -jujur saja- sangat mendalam di hati saya. Gobloknya malah dalam hati saya minta kegiatan itu diperpanjang aja, lumayan buat refreshing. Tapi nggak mungkin, lah.
Begini, terkadang kita terlalu mengambil pikiran singkat tentang segala sesuatu yang ingin kita kerjakan. Mengapa tidak membiarkannya mengalir begitu saja mengikuti arus. Sesusah apapun rasanya mengerjakan sesuatu ya kudu' dinikmati. Syukur saya termasuk orang yang menikmati suatu proses, bukan penikmat hasil akhir. Kan yang penting jalannya, bukan dapetnya. Walaupun nanti ada yang ngotot sampe' keluar uratnya kalau hasil akhir adalah yang utama. Mungkin orang-orang yang suka menikmati hasil akan bilang "ngapain susah-susah kayak gitu, nggak ada manfaat yang didapet" Ok! saya cuma bilang terima kasih atas pernyataan ini. Sekali lagi saya bukan orang yang menikmati hasil, tapi proses. Peduli setan orang mau bilang apa.
Diluar dugaan ternyata warga dusun Kedok Banteng, Pacet - Mojokerto sangat terbuka. Saya denger selentingan kalau mereka berfikir apa yang kita lakukan ini nggak ada manfaatnya sama sekali, cuma dianggap rombongan piknik ngabisin liburan setelah UAS. Tapi kita nggak mau digituin. Kita tunjukkin kalau apa yang kita lakuin itu justru bermanfaat buat mereka. Dyaaan.... ternyata sangat meriah sambutannya. Saya sampe' nangis, tapi dalam hati.
Jadi kangeen... kumpul-kumpul lagi, ngantri kamar mandi dan semua ke-seru-an yang pernah kita alami di sana. Pertamanya aja kita ngegerombol cuma sama fakultas masing-masing. Tapi diakhir-akhir acara jujur kita pengen lagi. Tapi dasar kegiatan kami di luar sangat menyita waktu dan harus diselesaikan. Sialan !!! :D
Gimana nggak ngangenin. Pesona asri pedesaan dengan sedikit sentuhan teknologi sungguh menggoda hati ini untuk menambatkan kaki tidak mau berpaling se mili pun. Suasana yang sangat saya rindukan sejak lama. Keramahan warganya masih menyisakan kesopanan yang alami. Meskipun tanpa barang 'peradaban' gaya hidup modern kota, toh suasananya cocok sebagai pelarian dari kepenatan yang sudah mencapai stadium akut.
Ya wes lah. Toh udah selesai. Eh, ngomong-ngomong saya jadi MC-nya lho pas acara perpisahan dengan anak-anak KarTar situ. Acaranya dikemas kayak perayaan 17 an di kampung. Lumayan juga sih jadi artis dadakan tingkat kampung ha..ha..ha.. *alah.
Hfuf.....
Ritual ketiga ini yang belum saya rasakan dan akan saya kejar. Apalagi kalau bukan Wisuda Kelulusan dan meraih gelar sarjana setelah berjibaku selama 4 tahun yang 'menggila'. Tunggu waktunya. Ntar saya juga ngerasain.
taste the sweetest things of life
16 Februari 2009
11 Februari 2009
Kembali ke 'Rumah Lama'
Walau ini bukan pertama kalinya, justru saya merasa seperti 'anak baru' yang masih malu-malu kucing dan cengangas-cengenges nggak karuan. Biasalah, new comer syndrome masih melekat kuat pada saya. Untuk balik kucing kembali ke kandang saya dulu tidak ada yang berubah, semua masih sama. Hanya saja kini bertambah beberapa 'penduduk' baru yang berhasil lolos seleksi alam-nya mbak ini.
Hfuf.... Saya tidak bisa membayangkan konyolnya saya kalau ditanya-tanyain yang enggak-enggak tentang kembali-nya saya. Ada yang bilang saya nggak tahu malulah atau mungkin nggak dapet kerjaan jadinya mohon-mohon gitu, deh. Hah.. ya sudah, toh saya juga ikut seleksi alam itu. Fair, dong!! :D
Oh, ya. Saya jadi super sibuk sekarang. Bayangkan untuk menghadiri undangan penerimaan 'new comer' ini pun, saya harus bolak-balik Mojokerto-Surabaya karena harus menjalani ritual KKN yang mengasyikkan (dan ngajak miskin sih, kalau nggak ikut. Dendanya bujubuneng, pengangguran kayak saya mungkin nilai yang cukup besar). Toh saya anggap ini cuma sekedar relaksasi dari hiruk pikuk Surabaya yang menguras energi dan pikiran saya *alalalah... lebay* Capek deeh.... Tapi nggak apa-apa, namanya juga usaha ha..ha..ha..
Ya..ya..ya... saya kembali menjadi orang serabutan yang kudu' nyelesain kuliah plus jadi karyawan. Pontang-panting nggak genah. Baydeway-ondeway, sebenarnya saya merindukan 'kecapaian' ini. Rasanya kerja sambil kuliah bisa melencengkan sedikit dari pikiran-pikiran 'nggak mendukung' yang selama ini saya imajinasikan (jangan bayangin saya orangnya ngeres, ya. Awas lho :P )
"Selamat Datang di Rumah Lama" dan "Selamat Tinggal Kejenuhan"
Hfuf.... Saya tidak bisa membayangkan konyolnya saya kalau ditanya-tanyain yang enggak-enggak tentang kembali-nya saya. Ada yang bilang saya nggak tahu malulah atau mungkin nggak dapet kerjaan jadinya mohon-mohon gitu, deh. Hah.. ya sudah, toh saya juga ikut seleksi alam itu. Fair, dong!! :D
Oh, ya. Saya jadi super sibuk sekarang. Bayangkan untuk menghadiri undangan penerimaan 'new comer' ini pun, saya harus bolak-balik Mojokerto-Surabaya karena harus menjalani ritual KKN yang mengasyikkan (dan ngajak miskin sih, kalau nggak ikut. Dendanya bujubuneng, pengangguran kayak saya mungkin nilai yang cukup besar). Toh saya anggap ini cuma sekedar relaksasi dari hiruk pikuk Surabaya yang menguras energi dan pikiran saya *alalalah... lebay* Capek deeh.... Tapi nggak apa-apa, namanya juga usaha ha..ha..ha..
Ya..ya..ya... saya kembali menjadi orang serabutan yang kudu' nyelesain kuliah plus jadi karyawan. Pontang-panting nggak genah. Baydeway-ondeway, sebenarnya saya merindukan 'kecapaian' ini. Rasanya kerja sambil kuliah bisa melencengkan sedikit dari pikiran-pikiran 'nggak mendukung' yang selama ini saya imajinasikan (jangan bayangin saya orangnya ngeres, ya. Awas lho :P )
"Selamat Datang di Rumah Lama" dan "Selamat Tinggal Kejenuhan"
05 Februari 2009
Percaya sama 'Reinkarnasi' ?
Saya percaya. Percaya bukan karena pernah mengalami kehidupan untuk kesekian kalinya. Cuma kali ini saya reinkarnasi kembali menjadi bagian dari 'rumah lama' saya yang pernah saya tinggalkan. Kembali (mencoba) terlahir kalau saya boleh bilang.
Suer! ini pertama kalinya saya merasa confidentless *alah* super akut. Secara nih, biasanya saya orang yang nggak kenal sama rasa malu dan over akting malah. Hufh... bener sumprit, malu pol.
Bayangkan saya harus menjalani seleksi jadi reporter/redaksi, dan yang menjadi penyeleksi adalah teman-teman baik saya sendiri. Kebayangkan malunya.
Sepanjang waktu seleksi saya mengumbar senyum kecil tanda rasa malu yang kelewatan sambil ngelus-ngelus dada tanda nggak percaya sama diri saya sendiri. Seolah kehilangan bagian dari jiwa saya atraktif dan cuek bebek. Heran, deh.
Tapi ya sutralah, namanya juga usaha. Kalau kepanggil ya syukur, kalau nggak juga nggak apa-apa. Kagak enak ama temen sendiri yang sudah ngasih kesempatan buat gabungan lagi.
"Kalau ada yang ngerendahin loe karena balik kesini lagi, gimana?" Mbak ini bilang.
"Ehm... kan saya ikut seleksi juga, jadi pake jalur yang bener dong. Nggak ada KKN?" Singkat.
Dia cuma ngangguk tanda setuju
Eh, ngemeng-ngemeng masalah reinkarnasi, nih.
Bukannya saya terkejut dengan perilaku MUI yang mengeluarkan fatwa (lagi-lagi 'haram') yang ditujukan untuk sebuah perilaku yang mengakar di tanah air. Rokok kok haram, seh. Kayak nggak ada kerjaan aja tuh Lembaga.
Ini sudah berulang kali dibahas kalau hal tersebut serahin aja sama individunya. Lagian yang ngerasain baik nggaknya kan tuh orang. Ngapain juga kudu' ikut-ikutan ngurusin perilaku orang, sedangkan perilakunya sendiri aja kagak bener.
Sebenernya banyak kelemahan dari fatwa itu. Pertama, diharamkan kepada anak-anak dibawah umur dan ibu hamil. Lha, kalo orang dewasa laki-laki dan perempuan yang kagak hamil nggak haram dong. Trus, diharamkan merokok di ruang publik. Yaelah, kan udah ada aturan kayak begono dibeberapa daerah, tinggal hukumnya aja yang bertindak. Oh, ya. kalau diruang pribadi nggak apa-apa kan. Jedag !!!
Lemah banget nih, fatwa. Hanya sebagian yang dikenakan hukum haram ini. MUI tampaknya nggak ngelihat dampak di keluarkannya fatwa semacam ini. Haram bagi siapa dulu, apa fatwa haram itu hanya untuk muslim di Indonesia, nah yang diluar negara ini gimana kabarnya?.
Bukankah hukum suatu agama itu mengikat semua pemeluknya. Tindakan MUI ini sudah seperti orang yang sok tahu banget masalah agama. Nabi SAW saja nggak pernah melarang merokok, hanya menyadarkan pada kita akibat buruk yang ditimbulkannya.
Saya bukan perokok, tapi tetap saja nggak setuju sama fatwa tersebut. Masalahnya ini menyangkut pihak yang dirugikan akibat fatwa ini. Pabrik rokok, pekerjanya, orang-orang yang menjualnya, pedagang dan konsumen sendiri. Hidup negara ini sebagian besar juga sumbangan dari cukai rokok.
Tunggu saja "Reinkarnasi" Fatwa ini untuk apa lagi. Jangan-jangan dia lahir kembali lantaran MUI bingung enaknya ngapain kalau nganggur-nganggur nggak ada kerjaan, gitu kali.
---BIKIN GARA-GARA YUK!!----
saya ngacirr...dulu.....
Saya percaya. Percaya bukan karena pernah mengalami kehidupan untuk kesekian kalinya. Cuma kali ini saya reinkarnasi kembali menjadi bagian dari 'rumah lama' saya yang pernah saya tinggalkan. Kembali (mencoba) terlahir kalau saya boleh bilang.
Suer! ini pertama kalinya saya merasa confidentless *alah* super akut. Secara nih, biasanya saya orang yang nggak kenal sama rasa malu dan over akting malah. Hufh... bener sumprit, malu pol.
Bayangkan saya harus menjalani seleksi jadi reporter/redaksi, dan yang menjadi penyeleksi adalah teman-teman baik saya sendiri. Kebayangkan malunya.
Sepanjang waktu seleksi saya mengumbar senyum kecil tanda rasa malu yang kelewatan sambil ngelus-ngelus dada tanda nggak percaya sama diri saya sendiri. Seolah kehilangan bagian dari jiwa saya atraktif dan cuek bebek. Heran, deh.
Tapi ya sutralah, namanya juga usaha. Kalau kepanggil ya syukur, kalau nggak juga nggak apa-apa. Kagak enak ama temen sendiri yang sudah ngasih kesempatan buat gabungan lagi.
"Kalau ada yang ngerendahin loe karena balik kesini lagi, gimana?" Mbak ini bilang.
"Ehm... kan saya ikut seleksi juga, jadi pake jalur yang bener dong. Nggak ada KKN?" Singkat.
Dia cuma ngangguk tanda setuju
Eh, ngemeng-ngemeng masalah reinkarnasi, nih.
Bukannya saya terkejut dengan perilaku MUI yang mengeluarkan fatwa (lagi-lagi 'haram') yang ditujukan untuk sebuah perilaku yang mengakar di tanah air. Rokok kok haram, seh. Kayak nggak ada kerjaan aja tuh Lembaga.
Ini sudah berulang kali dibahas kalau hal tersebut serahin aja sama individunya. Lagian yang ngerasain baik nggaknya kan tuh orang. Ngapain juga kudu' ikut-ikutan ngurusin perilaku orang, sedangkan perilakunya sendiri aja kagak bener.
Sebenernya banyak kelemahan dari fatwa itu. Pertama, diharamkan kepada anak-anak dibawah umur dan ibu hamil. Lha, kalo orang dewasa laki-laki dan perempuan yang kagak hamil nggak haram dong. Trus, diharamkan merokok di ruang publik. Yaelah, kan udah ada aturan kayak begono dibeberapa daerah, tinggal hukumnya aja yang bertindak. Oh, ya. kalau diruang pribadi nggak apa-apa kan. Jedag !!!
Lemah banget nih, fatwa. Hanya sebagian yang dikenakan hukum haram ini. MUI tampaknya nggak ngelihat dampak di keluarkannya fatwa semacam ini. Haram bagi siapa dulu, apa fatwa haram itu hanya untuk muslim di Indonesia, nah yang diluar negara ini gimana kabarnya?.
Bukankah hukum suatu agama itu mengikat semua pemeluknya. Tindakan MUI ini sudah seperti orang yang sok tahu banget masalah agama. Nabi SAW saja nggak pernah melarang merokok, hanya menyadarkan pada kita akibat buruk yang ditimbulkannya.
Saya bukan perokok, tapi tetap saja nggak setuju sama fatwa tersebut. Masalahnya ini menyangkut pihak yang dirugikan akibat fatwa ini. Pabrik rokok, pekerjanya, orang-orang yang menjualnya, pedagang dan konsumen sendiri. Hidup negara ini sebagian besar juga sumbangan dari cukai rokok.
Tunggu saja "Reinkarnasi" Fatwa ini untuk apa lagi. Jangan-jangan dia lahir kembali lantaran MUI bingung enaknya ngapain kalau nganggur-nganggur nggak ada kerjaan, gitu kali.
---BIKIN GARA-GARA YUK!!----
saya ngacirr...dulu.....
Langganan:
Komentar (Atom)

