Nyadar atau nggak, yang namanya nganggur a.k.a pengangguran punya dua sisi mata duit yang nggak bisa dipisahin gitu aja. Rutinitas sehari-sehari yang melelahkan otak dan otoot, kadang kala memunculkan pikiran yang nggak waras. Bawaannya pengen istirahat mulu nggak ada kerjaan, atau pengen kawin sama orang tajir trus tinggal ongkang-ongkang kaki. Atau ini nih, pengen punya usaha yang bisa nebelin kantong dengan prinsip keluar modal dikit tapi untung gede.
:D
Nggak salah juga. Kerja sambil kuliah yang saya lakoni dua tahun lalu juga sukses menjajah pikiran saya. Ujungnya bisa ditebak, saya resign. Kerjaan pertama paling di idam-idamkan anak moeda yang kegatelan pengen jadi artis lokal, ;P. Jadi penyiar radio adalah dambaan bagi mereka yang ingin menapakkan karir di bidang entertainment. Syukur saya sudah ngalamin. Tapi... ya itu, saya mentok jadi penyiar. Eh.. terakhir jadi PD alias program director, cing (berkacak pinggang).
Kalau mood ini susah dikendaliin, akhirnya keluar juga. Saya meninggalkan kerjaan yang telah membesarkan kepala saya itu :), setelah satu tahun bertahan. Pindah kerja kedua terdamprat di Customer Service. Yaa... anda tahu sendiri kerjaan orang yang hanya nerima cacian dan menurunkan tensi kemarahan customer. He..he..he.. Pfuf.
Nggak tahan lagi.... resign lagi, deh. Praktis tiga bulan lalu saya jadi pengangguran yang sukses. Sukses maksudnya benar-benar nggak ada kerjaan dan jadi parasit di Yayasan Orang Tuaku Baik Sekali :D
Eghm.....
Eghm.....
Beneran kata orang. Kebiasaan yang ditinggalkan akan memunculkan kerinduan. Badan saya ini kegatelan pengen kerja lagi *alah- bilang aja nggak ada duit* Cuma saya coba bertahan sampai akhir Februari tahun ini. Kegiatan KKN benar-benar sayang kalau dilewatkan. Lagian, bayar mahalkan untuk dinikmati :)
Tapi saya sudah coba menabung dengan mengirim lamaran, sapa tahu ntar kalau dipanggil bulan depan (yee... ngarepin).
Jadi pengangguran sukses membuat saya jadi gila. Senyum-senyum sendiri ngebayangin kalau dulu saya nggak pernah bisa serileks seperti sekarang. Nyicipi makanan favorit, dengerin musik, walking-walking, kumpul bareng, fokus kuliah yang tinggal diujung ajal dan menghayalkan rencana-rencana kedepan. Gila, kan, saya.
Nganggur itu... enak
Enak karena bisa nyantai dan ngelakuin banyak hal.
Nganggur itu... Jenuh
Jenuh karena hal yang dilakuin itu-itu aja.
Nganggur itu... Hina
Hina karena dapat hinaan dan cacian serta di cap sebagai sampah rumah tangga :D
oh, ya, juga sampah masyarakat he..he.he..
Nganggur itu... eghm... apa lagi
Ya pokoknya kayak gitu. Kenyamanan (finansial, kerjaan dll) kadang membuat kita jengah bin jenuh. Nah, kalau nganggur ada waktu untuk me-refresh-kan body and soul secara holistik tanpa diganggu.
Eh... Mak saya bilang.
"Sabar, semua itu dah diatur. Kalau kamu nggak betah dan nggak nyaman sama kerjaan kamu, berarti Tuhan belum ngasih kesempatan untuk lebih baik. Suatu saat nanti pasti kamu dapetin kerjaan yang sreg di hati."
Oh... that's my angels.
Saya jadi mikir, memang kalau kita kerja tanpa hati ikhlas, atau di paksa untuk ikhlas juga nggak akan ridho wal rela. Kita bisa menemukan kegiatan yang bermanfaat (mendatangkan uang plus kesenangan batin). Kerja keras emang perlu, tapi kita kan dikasih akal. Kita juga bukan sapi perahan yang diburu waktu, tender, target, basa-basi diplomasi dan sebagainya.
Hey.... ada nggak sih yang bisa ngasih tahu saya kegiatan apa itu.
Secara saya masih nyandang status Maha Student.
Lagian, kan, saya masih muda :p Ha...ha...ah..
Udah, ah. Mau mikir dulu enaknya ngapain.
taste the sweetest things of life
15 Januari 2009
10 Januari 2009
"Cuma anda saja yg gak bisa (ikut) tapi yang lain bisa. Nanti malam berangkat jam 22.00. Jika tdk ikut tidak dapat nilai. Trims."
SMS ini saya terima waktu saya baru bangun dari tidur panjang pagi tadi (molor,pen) dan sempat mengagetkan saya. Nah, sms ini dikirim via teman kuliah saya yang sama-sama ngambil kelas fotografi. Banyak pikiran macem-macem waktu nerima nih sms pagi tadi. Dough... kenapa kita masih saja menghamba pada nilai dengan arti real. Emang kalo nilainya jelek berarti kita juga jelek, he..he.he.
Hfuf.... suer saya juga nggak tahu mesti ngapain.
"Eghm... " lagi mikir mode on
Dough... secara saya juga nggak enak sama teman-teman saya yang mengharapkan kehadiran diriku *alah* :D Lantaran cuma kami berlima yang ikut kelas fotografi itu. Susunannya juga unik 2 cowok dan 3 awewek. Persis Power Rangers.
Eh.. tunggu. Setelah nerima SMS diatas, teman yang lain langsung nelpon dan nanyain pendapat saya. Ya.. dengan lugunya dan tanpa dosa saya jawab :
"Kok mesti ke Bromo, seh. Nggak ada tempat lain yang deket. Sana kan dingin......" lugunya saya.
"Abis, Pak Dj****t ngotot mau ketempat itu. Katae jadi satu sama anak Unmuh"
"Duh...kirain biayanya cuma 50 rebong, kok bengkak jadi segede itu. Males ah." ngeles.
"Ya... gimana ya, aku juga lagi krisis ini." jedag
"Nah, aku apalagi. Kalau ancamannya nilai, ya.. aku nilai aja diriku sendiri. he..he.he.."
Pren, diatas adalah contoh percakapan tentang dua orang yang lagi bingung satu sama lain. Teman saya yang anak rantau takut banget kalau nilainya jeblok lantaran ikut mata kuliah ini, dan dengan segenap usaha termasuk ngutang atao ngemis ke ortunya kudu' ikut kegiatan ini. Saya sedikit tercengang. Apa iya sampe' segitunya, bela-belain demi nilai yang ternyata mata kuliah ini cuma pilihan belaka. Artinya kan kalau diikuti dapet nilai, kalau nggak ya... sebenarnya sih nggak ngaruh. Toh cuma pilihan, yang penting mata kuliah wajibnya udah saya jalani sepenuhnya.
--Ini contoh mahasiswa culas dan nggak bertanggung jawab---
Disclaimer : Jangan ditiru :D
Saya sih simple aja.
Sistem pendidikan di Indonesia masih terhegemoni oleh pencapaian hasil berdasarkan nilai angka dan huruf. Saya jadi mikir, emangnya huruf atau nilai itu adalah hasil mutlak pikiran kita. Kalau jawabannya salah dikit nilainya kecil, kalau bagus tentu aja gede, ya elah ternyata otak di Indonesia otak kita dihargai cuma 1 sampai 10 kalau nggak A sampe' E. Titit, eh..titik.
Hfuf...
Oh ya ada lagi. Saking menghambanya siswa kita sama nilai, beragam cara dan melegitimasi segala sesuatu jadi sah untuk mendapatkannya. Toh, larinya kalau nggak ke warnet ya buku ato koran, copy-paste, selesai.
Dulu.. waktu SD saya sangat menyukai pelajaran mengarang dan prakarya. Bagi saya hal itu baru di bilang pendidikan. Mengarang membuat saya harus berfikir apa yang harus saya tulis dan apa yang harus saya ucapkan di depan kelas, prakarya juga begitu. Kita dilatih untuk mengungkapkan apa saja dengan media apa pun yang kita senangi.
Pendidikan bukan lah tirani yang membenarkan dan menyalahkan. Kita dinilai dari pencapaian yang berarti untuk sesama. Bisa tindakan, ucapan dan pikiran kita.
Bukankah manusia yang baik adalah manusia yang berguna bagi manusia lainnya. Bukannya manusia yang mengumpulkan banyak nilai dan mendokumentasikannya lalu teriak-teriak kalau nilainya bagus, paling tinggi dan sebagainya.
Sayangnya hal ini masih diterapkan dalam dunia pendidikan kita. Seperti halnya Ujian Nasional yang sempat dikritik beberapa waktu lalu. Pemerintah mengaku bahwa tidak ada sistem seleksi selain Unas. Juga tidak ada cara penilaian yang tepat untuk mengukur keberhasilan seseorang menempuh pendidikan.
Eghm..... ya, begitulah.
Tapi yang pasti, hari ini saya tetep nggak bisa ikut. Selain karena beberapa faktor yang tidak bisa saya sebutkan (duit, males, pilihan hati, cuaca, dan saya masih pengen anget di rumah) Ups! maap saya latah he..he..he..
Soale ada film bagus ntar malam di Metro TV.
:D
Hfuf.... suer saya juga nggak tahu mesti ngapain.
"Eghm... " lagi mikir mode on
Dough... secara saya juga nggak enak sama teman-teman saya yang mengharapkan kehadiran diriku *alah* :D Lantaran cuma kami berlima yang ikut kelas fotografi itu. Susunannya juga unik 2 cowok dan 3 awewek. Persis Power Rangers.
Eh.. tunggu. Setelah nerima SMS diatas, teman yang lain langsung nelpon dan nanyain pendapat saya. Ya.. dengan lugunya dan tanpa dosa saya jawab :
"Kok mesti ke Bromo, seh. Nggak ada tempat lain yang deket. Sana kan dingin......" lugunya saya.
"Abis, Pak Dj****t ngotot mau ketempat itu. Katae jadi satu sama anak Unmuh"
"Duh...kirain biayanya cuma 50 rebong, kok bengkak jadi segede itu. Males ah." ngeles.
"Ya... gimana ya, aku juga lagi krisis ini." jedag
"Nah, aku apalagi. Kalau ancamannya nilai, ya.. aku nilai aja diriku sendiri. he..he.he.."
Pren, diatas adalah contoh percakapan tentang dua orang yang lagi bingung satu sama lain. Teman saya yang anak rantau takut banget kalau nilainya jeblok lantaran ikut mata kuliah ini, dan dengan segenap usaha termasuk ngutang atao ngemis ke ortunya kudu' ikut kegiatan ini. Saya sedikit tercengang. Apa iya sampe' segitunya, bela-belain demi nilai yang ternyata mata kuliah ini cuma pilihan belaka. Artinya kan kalau diikuti dapet nilai, kalau nggak ya... sebenarnya sih nggak ngaruh. Toh cuma pilihan, yang penting mata kuliah wajibnya udah saya jalani sepenuhnya.
--Ini contoh mahasiswa culas dan nggak bertanggung jawab---
Disclaimer : Jangan ditiru :D
Saya sih simple aja.
Sistem pendidikan di Indonesia masih terhegemoni oleh pencapaian hasil berdasarkan nilai angka dan huruf. Saya jadi mikir, emangnya huruf atau nilai itu adalah hasil mutlak pikiran kita. Kalau jawabannya salah dikit nilainya kecil, kalau bagus tentu aja gede, ya elah ternyata otak di Indonesia otak kita dihargai cuma 1 sampai 10 kalau nggak A sampe' E. Titit, eh..titik.
Hfuf...
Oh ya ada lagi. Saking menghambanya siswa kita sama nilai, beragam cara dan melegitimasi segala sesuatu jadi sah untuk mendapatkannya. Toh, larinya kalau nggak ke warnet ya buku ato koran, copy-paste, selesai.
Dulu.. waktu SD saya sangat menyukai pelajaran mengarang dan prakarya. Bagi saya hal itu baru di bilang pendidikan. Mengarang membuat saya harus berfikir apa yang harus saya tulis dan apa yang harus saya ucapkan di depan kelas, prakarya juga begitu. Kita dilatih untuk mengungkapkan apa saja dengan media apa pun yang kita senangi.
Pendidikan bukan lah tirani yang membenarkan dan menyalahkan. Kita dinilai dari pencapaian yang berarti untuk sesama. Bisa tindakan, ucapan dan pikiran kita.
Bukankah manusia yang baik adalah manusia yang berguna bagi manusia lainnya. Bukannya manusia yang mengumpulkan banyak nilai dan mendokumentasikannya lalu teriak-teriak kalau nilainya bagus, paling tinggi dan sebagainya.
Sayangnya hal ini masih diterapkan dalam dunia pendidikan kita. Seperti halnya Ujian Nasional yang sempat dikritik beberapa waktu lalu. Pemerintah mengaku bahwa tidak ada sistem seleksi selain Unas. Juga tidak ada cara penilaian yang tepat untuk mengukur keberhasilan seseorang menempuh pendidikan.
Eghm..... ya, begitulah.
Tapi yang pasti, hari ini saya tetep nggak bisa ikut. Selain karena beberapa faktor yang tidak bisa saya sebutkan (duit, males, pilihan hati, cuaca, dan saya masih pengen anget di rumah) Ups! maap saya latah he..he..he..
Soale ada film bagus ntar malam di Metro TV.
:D
06 Januari 2009
Gila !!!
Hampir nggak bisa bedain mana batasan yang jelas antara marah, kesal, benci dan jengkel. Dua bulan ini nggak tahu kenapa saya belum bisa melupakan kesalahan yang diperbuat oleh teman yang sedikit lagi saya predikati sebagai sahabat. Sebuah kesalah yang membuat saya berpikir betapa bodohnya saya menanggapi masalah itu. Toh saya juga sudah tahu konsekuensi yang harus saya terima. Masalahnya di rahasiain aja ye..
Kalau kita yakin sama ucapan "Time is healing" sepertinya benar juga. Ngapain juga masalah yang kita hadapi harus menjadi masalah baru yang menunggu harus diselesaikan. Mendingan juga mengikhlaskan dan sabar...buu.. Yeah, right!
Terkadang perasaan juga mengalahkan idealisme untuk beberapa saat. Kita bisa ngomong ngalur-ngidul sok idealis, tapi saat dihadapkan dengan masalah kecil yang menyangkut perasaanpun kita kadang lupa. Hallo! Mana idealismenya.
Baiklah.... Ikuti saya ya..
Ambil nafas.......
...
Keluarkan Hfuf......
Pikirkan hal positif yang menarik untuk dilakukan.
Pikirkan ucapan yang dapat memotivasi saya.
"Meminta maaf tidak membuat kita hina, kan. Ini juga, memberi maaf juga tidak membuat kita berlagak kalau kita nggak salah sejuta persen. Sulit memang, tapi coba deh bayangkan hal terbaik yang bisa kita lakukan kalau kita berdamai. Banyak sekali."
Well, it's time to show off. Isn't right ?
Hampir nggak bisa bedain mana batasan yang jelas antara marah, kesal, benci dan jengkel. Dua bulan ini nggak tahu kenapa saya belum bisa melupakan kesalahan yang diperbuat oleh teman yang sedikit lagi saya predikati sebagai sahabat. Sebuah kesalah yang membuat saya berpikir betapa bodohnya saya menanggapi masalah itu. Toh saya juga sudah tahu konsekuensi yang harus saya terima. Masalahnya di rahasiain aja ye..
Kalau kita yakin sama ucapan "Time is healing" sepertinya benar juga. Ngapain juga masalah yang kita hadapi harus menjadi masalah baru yang menunggu harus diselesaikan. Mendingan juga mengikhlaskan dan sabar...buu.. Yeah, right!
Terkadang perasaan juga mengalahkan idealisme untuk beberapa saat. Kita bisa ngomong ngalur-ngidul sok idealis, tapi saat dihadapkan dengan masalah kecil yang menyangkut perasaanpun kita kadang lupa. Hallo! Mana idealismenya.
Baiklah.... Ikuti saya ya..
Ambil nafas.......
...
Keluarkan Hfuf......
Pikirkan hal positif yang menarik untuk dilakukan.
Pikirkan ucapan yang dapat memotivasi saya.
"Meminta maaf tidak membuat kita hina, kan. Ini juga, memberi maaf juga tidak membuat kita berlagak kalau kita nggak salah sejuta persen. Sulit memang, tapi coba deh bayangkan hal terbaik yang bisa kita lakukan kalau kita berdamai. Banyak sekali."
Well, it's time to show off. Isn't right ?
Langganan:
Komentar (Atom)

