Seluruhnya... Siaaap grak !!
--- drep --- drep --- drep ---
Upacara Hari Pahlawan seolah menjadi ritual tahunan yang fardhu a'in dilaksanakan setiap tahun. Tujuan mulianya memang untuk mengenang jasa para pahlawan dan mengingatkan kembali kepada generasi yang baru saja mencicipi bangku sekolahan kalau dulu mbah buyut kita ngadain hajatan perang lawan Belande biar merdeka. Lepas dari penindasan yang tidak ber pri kemanusiaan dan pri keadilan *tsah*
Bukannya sombong juga kalau dulu tidak salah ingat, saya selalu ditunjuk menjadi salah satu pendukung upacara. Entah itu pembaca atau juga menjadi pengibar bendera. Iya... saya ingat sekarang. Bangga juga waktu itu menjadi pusat perhatian banyak orang. Mungkin dari sini bibit narsis saya mulai berkembang dan terarah *alah he..he..*
November ini saya teringat kembali. Ketawa ketiwi nggak karuan kalau ingat semuanya dan... ada perasaan nyeleneh tersirat seketika. Rasanya bodoh juga menjalankan ritual semacam itu (upacara, pen) kalau tujuannya hanya untuk mengenang. Seolah hanya sebagai pelengkap kalender tahunan yang sakral dan wajib di patuhi. Nggak bisa nggak. Rasanya kok ya nggak ada gunanya. Toh hal ini juga tidak merubah pandangan sebagian besar anak bangsa yang masih ngendon di negeri ini. Pahlawan dulu dan pahlawan sekarang mereka maknai berbeda. Kalau dulu murni perjuangan dan kalau pahlawan sekarang juga murni perjuangan. Tapi berjuang untuk diri sendiri dan kepentingan kelompok tertentu.
Malahan kandidat calon pemimpin sekarang juga jauh dari sifat kepahlawanan. November tahun ini terasa istimewa. Bapak ini menjadi sejarah baru negeri adidaya kesohor di utara sana. Pandangan politiknya benar-benar menyihir pemilih memberi suara perubahan untuk negeri mereka. Sepatutnya kita belajar dari mereka. Dan anehnya ini bukan yang ke sekian kalinya kita harus belajar lagi. Tapi belajar kepemimpinan yang satu ini patut di cermati serius.
Banyak kalangan menilai kalau dinegeri kita ini para pemimpinnya belum sepenuhnya memiliki kepemimpinan yang serius. Tengok saja pada setiap pemilihan kepala daerah selalu saja ada pihak yang merasa kecewa karena hasil yang didapat tidak sesuai dengan harapannya. Ujung-ujungnya sudah bisa ditebak. Mereka mencari-cari alasan pembenaran dan upaya anarkis yang memusingkan dan membuat malu diri mereka sendiri.
Kepemimpinan negeri ini seolah hanya perebutan kekuasaan tanpa dibarengi dengan hasil kerja riil yang tampak faedahnya dimasyarakat. Saya jadi ingat dengan omongan bapak ini. Hati-hati dengan pemimpin yang membayar kepemimpinannya karena dia akan mengambil lebih banyak dari hasil dia memimpin kelak. Segala sesuatu yang akan dikerjakan memang tergantung dari niatnya. Jika niatnya menjadi pemimpin hanya untuk mengejar kekuasaan belaka kelak ketika dia kalah dalam pemilihan maka yang terjadi adalah kekecewaan yang sangat menyakitkan, ngambek nggak karuan dan nggak jarang ada yang stres berat memikirkan bagaimana mengembalikan dana kampanye yang jumlahnya bisa beli cotton bud dua gunung.
Dan memang kita masih harus banyak belajar. Sikap ksatria ditujukan oleh rival Barack Obama, Mbah John McCain ketika dirinya dinyatakan kalah dan dengan besar hati menerima kekalahannya. Hebatnya beliau menyerukan kepada pendukungnya untuk mendukung pemerintahan Obama. Sebuah sikap ksatria yang patut ditiru pejabat negeri ini. Seorang ksatria bukanlah orang yang membunuh lawannya, tetapi ksatria adalah orang yang mampu menjadikan lawannya sebagai kawan.
Nampaknya kita memang belum menemukan Pahlawan sejati berdiri tegak didepan mata kita. Lalu untuk apa kita harus merayakannya Hari Pahlawan setiap tahunnya. Ini cuma guyonan kecil saya menikmati rasa malas ikut merayakan Hari Pahlawan hari Senin (10/11) kemarin. Mendingan gulung-gulung nggak karuan sambil mulet trus. . . . tidur.
--- drep --- drep --- drep ---
Upacara Hari Pahlawan seolah menjadi ritual tahunan yang fardhu a'in dilaksanakan setiap tahun. Tujuan mulianya memang untuk mengenang jasa para pahlawan dan mengingatkan kembali kepada generasi yang baru saja mencicipi bangku sekolahan kalau dulu mbah buyut kita ngadain hajatan perang lawan Belande biar merdeka. Lepas dari penindasan yang tidak ber pri kemanusiaan dan pri keadilan *tsah*
Bukannya sombong juga kalau dulu tidak salah ingat, saya selalu ditunjuk menjadi salah satu pendukung upacara. Entah itu pembaca atau juga menjadi pengibar bendera. Iya... saya ingat sekarang. Bangga juga waktu itu menjadi pusat perhatian banyak orang. Mungkin dari sini bibit narsis saya mulai berkembang dan terarah *alah he..he..*
November ini saya teringat kembali. Ketawa ketiwi nggak karuan kalau ingat semuanya dan... ada perasaan nyeleneh tersirat seketika. Rasanya bodoh juga menjalankan ritual semacam itu (upacara, pen) kalau tujuannya hanya untuk mengenang. Seolah hanya sebagai pelengkap kalender tahunan yang sakral dan wajib di patuhi. Nggak bisa nggak. Rasanya kok ya nggak ada gunanya. Toh hal ini juga tidak merubah pandangan sebagian besar anak bangsa yang masih ngendon di negeri ini. Pahlawan dulu dan pahlawan sekarang mereka maknai berbeda. Kalau dulu murni perjuangan dan kalau pahlawan sekarang juga murni perjuangan. Tapi berjuang untuk diri sendiri dan kepentingan kelompok tertentu.
Malahan kandidat calon pemimpin sekarang juga jauh dari sifat kepahlawanan. November tahun ini terasa istimewa. Bapak ini menjadi sejarah baru negeri adidaya kesohor di utara sana. Pandangan politiknya benar-benar menyihir pemilih memberi suara perubahan untuk negeri mereka. Sepatutnya kita belajar dari mereka. Dan anehnya ini bukan yang ke sekian kalinya kita harus belajar lagi. Tapi belajar kepemimpinan yang satu ini patut di cermati serius.
Banyak kalangan menilai kalau dinegeri kita ini para pemimpinnya belum sepenuhnya memiliki kepemimpinan yang serius. Tengok saja pada setiap pemilihan kepala daerah selalu saja ada pihak yang merasa kecewa karena hasil yang didapat tidak sesuai dengan harapannya. Ujung-ujungnya sudah bisa ditebak. Mereka mencari-cari alasan pembenaran dan upaya anarkis yang memusingkan dan membuat malu diri mereka sendiri.
Kepemimpinan negeri ini seolah hanya perebutan kekuasaan tanpa dibarengi dengan hasil kerja riil yang tampak faedahnya dimasyarakat. Saya jadi ingat dengan omongan bapak ini. Hati-hati dengan pemimpin yang membayar kepemimpinannya karena dia akan mengambil lebih banyak dari hasil dia memimpin kelak. Segala sesuatu yang akan dikerjakan memang tergantung dari niatnya. Jika niatnya menjadi pemimpin hanya untuk mengejar kekuasaan belaka kelak ketika dia kalah dalam pemilihan maka yang terjadi adalah kekecewaan yang sangat menyakitkan, ngambek nggak karuan dan nggak jarang ada yang stres berat memikirkan bagaimana mengembalikan dana kampanye yang jumlahnya bisa beli cotton bud dua gunung.
Dan memang kita masih harus banyak belajar. Sikap ksatria ditujukan oleh rival Barack Obama, Mbah John McCain ketika dirinya dinyatakan kalah dan dengan besar hati menerima kekalahannya. Hebatnya beliau menyerukan kepada pendukungnya untuk mendukung pemerintahan Obama. Sebuah sikap ksatria yang patut ditiru pejabat negeri ini. Seorang ksatria bukanlah orang yang membunuh lawannya, tetapi ksatria adalah orang yang mampu menjadikan lawannya sebagai kawan.
Nampaknya kita memang belum menemukan Pahlawan sejati berdiri tegak didepan mata kita. Lalu untuk apa kita harus merayakannya Hari Pahlawan setiap tahunnya. Ini cuma guyonan kecil saya menikmati rasa malas ikut merayakan Hari Pahlawan hari Senin (10/11) kemarin. Mendingan gulung-gulung nggak karuan sambil mulet trus. . . . tidur.

