taste the sweetest things of life

19 Oktober 2008

Coban Rondo the other nomaden adventures



Sudah tiga hari ini saya berada di Coban Rondo. Sebuah kawasan wisata alam yang menawarkan keindahan air terjun yang alami dan sejuk. Di kawasan ini pula terdapat bumi perkemahan yang diperuntukan bagi orang orang yang ingin membangun kawasan nomaden dengan rombongannya.

Ups... Sebentar, berapa kali yach saya sudah menginjakkan kaki ketempat ini?

Saya pergi bukan tanpa tujuan. Bukan berbangga diri *ce'ile*, saya mempunyai misi khusus dari payung organisasi saya yang ini untuk membantu mahasiswa baru belajar Leadership dan Management Mahasiswa -- doooh keren bangeetzzz nama'e --

. . .

Kegiatan camping mengemping ini (eh.. bener nggak sih ejaannya) sudah saya lakoni sejak masih duduk di bangku karatan SMU dan ini yang kesekian kalinya (untuk di Coban Rondo ini yang kedua). Kalau dipikir-pikir saya termasuk orang yang beruntung, lho. Selain wahana melepas kepenatan *alah* acara ini juga menambah daftar panjang wisata nomaden dan lucunya saya menjadi ketagihan lagi.

Selepas dari Coban Rondo ada jejak terdalam kerinduan saya bersama teman-teman saya tempo doeloe menjelajah gunung dan camping bersama dalam kekeluargaan.

Sepanjang perjalanan wisata nomaden saya satu ini, banyak hal yang saya pikir perlu untuk dibenahi sebagai upaya mengembangkan kawasan wisata ini agar menjadi tempat yang menarik dan layak untuk dikunjungi.

Kawasan hutan yang tampak gundul dari kejauhan terlihat kontras dengan pembangunan kota ini yang berada dibawahnya. Tapi yaah... bener juga sih. Kalau nggak gitu, nggak akan ada kawasan wisata dan pariwisata yang ditawarkan. Tapi Bapak dan Ibu Pejabat setempat, tolong dech...  kalau abis membangun ya mbok dibalikin lagi alias ada niat untuk mereboisasi kembali. Dan tolong juga deh sekalian bilangin sama penjual makanan di warung-warung itu kalau niat membantu orang untuk meringankan derita kelaparan jangan membuat harga seenaknya yang kelewatan. Sumpah . . . makan disini ngajak miskin. Strees bener aye.

Tapi ya sutra lah. Mari kita tinggalkan sejenak mengenai perjalanan saya di Coban. . . egh, apa tadi. . . . Oh ya, Coban Rondo -- saya juga bingung kenapa namanya Coban Rondo, kenapa nggak Coban Dudo, Coban Joko, Coban Gadis Perawan Ting Ting atau status lainnya. Coban Banci boleh juga --

Kembali ke perenungan saya selama disana. Menikmati sejuknya hawa, cipratan dingin airnya, hangat mentarinya dan hijaunya suasana ada umpatan kecil yang saya lontarkan dalam hati kecil saya. Mengapa saya melewatkan banyak petualangan lahir yang seru untuk dijajah selama ini karena sibuk memburu dollar (maaf nieh uang lagi kolaps, aye ganti aja kiasannya ama Euro) dan melupakan ke-humanis-an saya selama ini.

Mungkin ini makna yang saya temui di bukunya Arvan Pradiansyah Cherish Every Moment yang teman saya ini punya -- meski cuma sampai halaman ke 15 -- bahwa dalam hidup kita memang harus menikmati setiap detik yang diberikan kepada kita seolah-olah detik itu adalah detik terakhir kita hidup didunia. Saya lupa bahwa kita diberi kehidupan untuk dinikmati dan disyukuri untuk memuji yang Maha Keren Sang Pencipta. Ada gairah baru yang menggelora dalam diri saya (bahasanya Orba banget yah) setelah disihir klepek-klepek dengan kata-kata inspirasionalnya.

So Let's Get The Beat and Cherish Your Life

ps : Kalau penasaran sama nama Coban Rondo  coba cek di sini.

15 Oktober 2008

Memilih di persimpangan

Dalam perjalanan menuju kampus saya yang ini dalam bis saya membayangkan begitu enaknya jika saya memiliki sebuah sepeda motor. Keinginan yang masih saja terus saya pendam waktu itu. Entah mengapa saya sama sekali tidak punya keinginan untuk membelinya, padahal kalau di niatkan bisa saja hal itu tercapai. Saya terus menerus membodohi diri saya sendiri. 
Saya tersenyum dalam hati sambil menghela napas sebentar.
Memang kalau dipikir saya memang bodoh sekali*yeah*. Bayangkan saja, dengan salary yang lumayan cukup, satu sepeda motor mungkin sudah saya bawa berkeliling saat ini. Waktu itu keinginan ini sama sekali tidak ada. Yang mengejutkan waktu itu (masih makmur-makmurnya) saya ingin menikmati kesendirian dalam kemandirian ala bujangan *alah he. . . he. . .
Toh saya sudah memilih " ya sutra-lah . . . "
Tapi kemudian saya cengar-cengir lagi. Teman saya ini juga ngotot banget pengen kuliah tapi cicilan motornya belum lunas -terakhir kali denger katanya udah lunas, ya. Salut deh-. Atau mau mencontoh kawan saya ini yang mendapatkan sepeda motor tanpa susah payah tetapi bingung mau kuliah dimana dan gimana mekanisme membiayai kuliahnya. 
Kecenderungan yang kita dapatkan dalam menentukan pilihan adalah kita seringkali memikirkan hal yang akan kita capai namun satu pilihan belum selesai kita kerjakan. Bermimpi boleh saja, harus malah. Namun bila mimpi itu di muntabkan dalam keluhan dan rengekan, sama juga bohong. Bukannya itu tanda kita orang yang terlalu obsesif. Santai saja kawan, jangan buang energi :D  postingan blognya mbak ini jadi inspirasi saya.
Dasar saya yang pikirannya simple dan tidak mau di ribetkan dengan segala hal yang terlalu menuntut untuk dicapai dengan tergesa-gesa. Saya berpikir kelak ada waktunya kita akan mendapatkan apa yang kita inginkan dengan proses dan usaha yang maksimal tanpa mengorbankan apa yang kita kerjakan sekarang ini. 
...
Sekarang . . . tinggal bagaimana kita memilih di persimpangan keinginan dan harapan yang ingin kita capai tanpa menelantarkan pilihan yang sedang kita kerjakan sekarang. 

06 Oktober 2008

First Day Out . . .

Whuff. . . .

Dua kali saya menghirup dan melepaskan perlahan nafas pagi ini.
Mengucapkan selamat pagi pada dunia. Merentangkan tangan, sedikit stretching ringan. Cukup.

Whuff . . . .

Oke, sudah cukup.

Hari pertama saya sejak resign dari sini.Hari dimana saya kembali menjalani hal-hal yang dulu saya tinggalkan. Mencari tantangan baru nan seru lainnya. Sesuatu yang membuat diri saya bergairah dan merasa hidup sebagai manusia. Meninggalkan apa yang dinamakan oleh orang sebagai zona nyaman. Zona dimana dia merasa nyaman dan malas meninggalkannya. Zona dimana keamanan financial, fasilitas, tunjangan, bonus dan sebagainya menjadi sesuatu yang diburu. Zona yang membuat seseorang menjadi pengecut menerima tantangan baru.

Sebentar. . .
Saya masih asyik membayangkan keseruan di luar sana. Sesuatu yang patut untuk dicoba dan dirasakan. Menaklukkan dan melawan hal yang tidak mungkin.

Hari ini saya berani berteriak lantang :

" . . . Aku siap !! . . . "
" . . . Aku siap, dengarkan hey di luar sana . . . "
" . . . Aku bukan pengecut yang takut kehilangan arah hidup dan terlunta-lunta . . . "
" . . . Tunggu saja, hey diluar sana !!! . . . "