taste the sweetest things of life

29 Agustus 2008

Jago pura-pura

Saya sempat terkesima pas pertama kali lihat pilem 'The Pretender'. Dibenak saya muncul gambaran tentang seorang yang menjalankan kehidupannya dengan berpura-pura. Tapi anehnya film ini bukan seperti yang saya bayangkan. Lain. Bagaimana mungkin seseorang dapat menjadi apa saja yang diinginkannya hanya dalam waktu sekejap, sangat ahli dan benar-benar nyata.

Bagi saya mungkin ini cuma film konyol yang pas ditonton bareng keluarga. Kalau saya kaitkan dengan personality characters mungkin orang kayak begini dibilang multi tasking. Ya sudah, toh ini cuma science fiction. Cuma film.

Eh... tunggu

Berpura - pura itu bukannya menyenangkan ya. Sekalian aja menjajal dan melatih diri kita menjadi aktor profesional, otodidak lagi. Nggak kebayang bangganya khan *yeah.

Tapi ngomong-ngomong tentang pura-pura, dunia ini sendiri dipenuhi sama orang yang menjalani hidup dalam kepura-puraan mereka. Menutupi hal ganjil dari diri mereka dan menggenapkan dengan sesuatu yang indah bin cantik sehingga orang lain hanya dapat melihat keindahan yang digenapkan itu. Sebuah legalitas yang mudah sekali didapat di jaman kayak gini.

Nggak perlu memaksakan tampil cantik atawa tampan kalau memang kita diciptakan menjadi orang minus tampang. Kalau jadinya acakadul nggak lucu jua kan. Atau ini nieh. Menjadi golongan dari sekte the have padahal yang kita punya cuma penghasilan pas-pasan senin kamis. Bukannya sesuatu yang dipaksakan hasilnya pasti konyol, bukan.

Masih tentang pura-pura [dough... ketagihan].
Pernah suatu kali saya menemukan teman saya memaksakan tertawa mendengar saya bercerita yang lucu hanya untuk mendukung saya [atau mungkin nggak tega ngelihat saya malu konyol padahal cerita saya garing]. Thanks dude. Yak, bisa ditebak garinginus jayuzkensis.

Atau ini. Pura - pura mendesis keenakan saat bercumbu sama sex partner biar dilihat kalau pasangan kita lihai sekali membuat kita orgasme dengan permainan blue filmnya. Pura-pura mau lagi padahal kita jengah dan lagi frigid seks. Kalau Anda sudah mengalami hal ini, saya sarankan hentikan. Nggak ada gunanya memaksakan diri. Menghargai perlu tapi bukannya kita mencari keenakan sejati dalam seks, ya khan. *ceile, sejak kapan seks dihargai dengan panjang desisan*

Tapi yang lebih parah dari kegiatan berpura-pura adalah pura-pura pinter. Orang kayak begini mah, sok atuh akang mangga kelaut pisan. Memaksakan memenuhi memori intelektualnya yang sempit dengan segudang omongan oratoris yang kelewat manis dan sangat......sangat memukau orang lain. Anehnya gaya bicara dan dukungan datanya entah dia ambil darimana dan disimpulkan sekehendak hati untuk menaikkan pamor dan biar dibilang "deuh, cak. Pinter sampeyan." Gaya mu pak, biasa ae po'o.

Kalau sudah ketemu sama orang seperti diatas, saya cuma mengelus dada dan diam. Ya diam. Diam dengan memberi seulas seringai senyum tulus senang (sssttt.... padahal saya juga pura-pura seneng. Impas kan.) Kalau nggak ngerti memang saya hanya bisa diam agar lebih aman lalu membaca keadaan dimana seharusnya saya menempatkan diri dalam posisi dilemmatis serba kebingungan. Kadang kalau nggak sanggup saya ambil langkah seribu plus meninggalkan sederet nota alasan yang dibuat-buat (pura-pura lagi). Pengecut. Biarin. Toh, sama aja mati kering kalau dipaksakan.

Tapi anehnya, hidup serba berpura-pura itu juga perlu. Saya berpikir sangat dalam tentang hal ini *alah. Jujur saya juga butuh hidup berpura-pura. Dengan batas kemampuan saya tentunya. Mau tidak mau saya memaksakan diri menjadi orang lain diluar diri saya sendiri. Gila. Bener-bener gila. Ternyata saya juga aktor kawakan dan nggak mustahil dapat Oscar. Saya sendiri juga tidak menyangka saya bisa melakukannya. Kadang saya tertawa sendiri kalau memutar film hidup saya yang penuh dengan kepura-puraan. Walaupun saya harus mengorbankan hidung saya terus panjang akibat kutukan suka berbohong alias pura-pura. Tapi nggak apa-apa deh, hidung saya nggak mancung ini :P

Jujur saja. Hidup Anda juga dipenuhi dengan kepura-puraan dalam skala tertentu yang dapat menolong Anda melewati episode hidup Anda. Dengan segudang alasan untuk menjabarkannya. Entah itu untuk menghormati lawan bicara, menyenangkan hati orang lain, agar diterima di komunitas Anda, mengaktualisasikan diri Anda, atau apapun alasannya.

Pernahkah kita jujur pada diri kita sendiri?

ps : awas ada bagian dari tubuh Anda yang memanjang eghem..hem :D


15 Agustus 2008

Untuk Cinta yang tak sempat terucapkan

Malam ini terlalu cepat.
Sangat cepat hingga aku berharap ingin mendapat tambahan waktu dari Yang Kuasa.
Aku tak berdaya. Waktu sudah terlanjur ditata Sang Maha Teratur. Aku hanya bisa pasrah.

Saat 'dia' bilang bahwa kau akan datang, hati ku bersorak. Rindu ini lunas sudah.

Ini kedua kalinya kita bertemu. Antara kau dan aku. Walau ada 'dia' diantara kita. Aku mengalah dan sekali lagi aku memang harus mengalah. Aku tahu diantara kau dan 'dia' pernah menandatangani perjanjian cinta diatas tahta suci asmara yang agung dan luhur. Dewi cinta Aprodhite menjadi saksinya. Cupid dengan panah cintanya yang riang jadi pengiring. Agung sekali. Aku menyaksikannya dari jauh, sangat jauh dari hatimu.

Segala pujian aku sematkan dalam do'a malam ku hanya untukmu.
Karena inginnya aku menjadi bagian dari dirimu. Aku tahu aku takkan bisa. Setidaknya beri aku kesempatan untuk mendo'akan segala yang terbaik untukmu sebagai ganti dari ketidakmampuanku menjadi bagian dari dirimu. Hanya dengan do'a, ya.. hanya dengan do'a aku merasa menjadi bagian dari dirimu. Hatiku......

Kamar ini tiba-tiba mengerucut dan sempit. Aku tak berkutik dihadapanmu.
Perangaiku menjadi liar. Pribadiku salah tingkah. Ucapanku hanya kiasan tolol karena memang...
Karena memang aku terpesona akan dirimu. Entah kenapa aku ini.

Malam ini semakin cepat larut.
Aku tahu kau bercumbu dengan 'dia'.
Desahan nafasmu beradu sengit dengan 'dia' jelas di telingaku. Menyayat hatiku.
Aku mencoba berpaling. Mencoba untuk memejamkan mata ini seolah tak ingin melihat 'dia' bercumbu dengan kau.

Aku menangis, tahukah kau......
Aku hanya bisa berdo'a memohon agar diriku tidak terjebak diantara kalian malam itu.
Aku ingin pergi, lari dan terus berlari menyusuri lorong yang pekat di naungi malam. Tersengal-sengal, kelelahan dan tersungkur lalu tertidur. Itu lebih baik bagiku.

Tidak ada lagi yang tersisa untukku.
Hati ini adalah benteng terakhir harapan diriku padamu.

Dirimu.....

Sifat penyayang dan penuh kasih.
Laku dewasa dan berwibawa.
Paras yang sempurna.
Tubuh penuh pesona.
Hati yang lembut dan bersahaja.

Bodoh...... Kenapa aku semakin menghayalkan tentang kau yang justru membuat aku pilu.
Kenapa aku ini. Ya Tuhan, seandainya Engkau ciptakan aku bukan sebagai manusia. Niscaya aku tidak akan tersiksa akan cinta.

Tapi aku mohon jangan tutup dulu buku cintaku, Tuhan.
Biar aku merasakan keindahannya meskipun sakit tak terperi.

Ini memang salahku.
Ini kebodohanku sendiri. Bodoh karena kelu lidahku ini terlalu beku untuk mengutarakan kado cintaku padamu. Sekali lagi karena ada 'dia'. Ada 'dia' diantara kita. Sahabat dekatku yang aku sayangi.

Ini bukan salah mu.
Terlalu hina jika aku menyalahkanmu. Kau tidak tahu isi hatiku yang sebenarnya. Kau pun tak tahu bahwa aku...... aku sangat mencintaimu. Sudahlah, aku tidak akan memaksa agar kau tahu semua isi hatiku. Ini memang salahku. Mencintaimu yang pernah mengikat janji suci dengan 'dia' sahabat baikku.

Aku tahu.
Keterbatasan fisikku menghalangimu untuk meletakkan buah cinta dan hatimu padaku.
Kelemahan ini pula yang menjadi batu karang dan menahan semua mimpi indahku. Kini mimpi-mimpi indah itu teronggok disudut kehampaan rindu hatiku. Menunggu untuk dicampakkan.

Aku tahu.
Aku tidak mampu dan mungkin tidak bisa.
Memilikimu sepenuhnya. Tapi sejahat itukah dirimu? Meninggalkan hatiku yang rindu harum tubuhmu. Meskipun tidak seutuhnya dirimu dapat kumiliki. Setidaknya tinggalkan satu desahan nafas mu untukku. Satu desahan nafas saja bagiku sudah cukup dan aku merelakan yang lain untuk 'dia' sahabatku karena memang hanya 'dia' yang pantas kau cintai. Aku tahu ini tidak berat untukmu. Ku mohon padamu. Hatiku.....




13 Agustus 2008

Susahnya hidup merdeka


Pernah dengar istilah

'Merdeka atoe Mati'

Tulisan ini pasti kita temukan di dinding, gapura dan berbagai coretan mural bertema kemerdekaan menjelang 17 Agustus. Coba lihat arti tulisannya. Saya mencoba untuk memahami arti tulisan itu. Pilih merdeka atau mati bukannya sama-sama sengsaranya, ya. Tapi bukannya kita harus memilih. Pilih bebas atawa pilih tergolek nggak ngapa - ngapain alias mati. Ya... mati, mati rasa, mati hati, mati otak dan mati mati yang serem laennya.

Tapi saya tidak akan membahas tentang mati dulu. Toh, bukan rahasia umum lagi kita bakalan mati cepat atau lambat. Jadi nggak perlu dibahas disini

Setiap tahun bulan Agustus membawa kita kepada dua peristiwa yang menjadi dilemma [Termasuk saya juga merasakannya]. Pertama. Bulan ini lagi ramai-ramainya semua orang yang ingin mengenyam bangku pendidikan berusaha untuk memasukinya. Ribut cari utangan sana-sini untuk menebus uang pangkal. Kedua, bulan ini juga kita meneriakkan pekik kemerdekaan negara kita. Entah merdeka dari mana, atau orang-orang hanya tahu kita merdeka dari pengertian 'Sing penting nggak onok bedil gawe mateni uwong' alias penjajah, gitu--ganti-- Merdeka tuh apa yah.....

Sampai sekarang saya masih dingin dan nggak terlalu yakin dengan kemerdekaan. Secara, gitu saya belum bisa menemukan arti merdeka yang beneran. Atau mungkin juga saya masih terkurung dalam rutinitas yang menyita waktu bersenang-senang saya *alah. Makanya bagi saya merdeka adalah bisa sedikit meluangkan waktu untuk bercumbu dengan diri sendiri. Bagi saya itu sudah cukup. Menyenangkan diri sendiri bukan kejahatan kan?

Arti hidup merdeka bisa berlainan untuk setiap orang. Tidak harus distandarkan dengan pengertian merdeka secara fisik. Atau merdeka dalam pengertian ekonomi, sosial, budaya dan laen-laen seperti yang dilontarkan orang-orang sok oratoris bicara tentang merdeka. Opini yang mereka gulirkan tetap itu-itu saja setiap tahun dan nggak pernah berubah.

' ....Saudara-saudara, ironis sekali. Sudah 63 tahun kita menghirup udara kebebasan, tapi kita belum merdeka dari kebodohan, kemiskinan dan kelaparan bla..bla..bla....." dan seterusnya.

eghm..... sstsss.... hfuf...

Okay, deh. Saya akui itu bener adanya. Bukannya kisaran usia 63 itu harusnya sudah menikmati masa istirahat, ongkang-ongkang kaki, bercanda dengan keluarga dan menekuni hobi yang dulu nggak pernah tersentuh. Atau masih terlalu muda untuk kisaran usia sebuah negara seperti Indonesia. Tunggu, bagaimana dengan Malaysia yang usianya jauh lebih muda dari Indonesia. Kemajuan yang menakjubkan sudah mereka tunjukkan di kancah dunia.

sebentar.......
bisa tidak sih, kita menguraikan arti merdeka lepas dari unsur yang berbau politik. Balik yuk, liat diri kita. Lihat dulu deh. Sudah........ oh, belum. Lihat lebih teliti lagi. Sudah......

yak.....

Ternyata kita belum merdeka ya. Ibaratnya kita belum menemukan siapa diri kita sebenarnya. Akui saja kalau kita masih dituntut untuk memenuhi standar hidup lingkungan hidup kita. Mulai dari gaya berpakaian, penampilan fisik yang ikut-ikutan belum lagi pencapaian - pencapaian jangka panjang yang menguras energi kita. Dough...capek. Kita belum merdeka, kan.

Merdeka bagi kita bila kita sudah bisa melepaskan nepsong [nafsu, bahasanya banci banget ya] dari hidup yang terlalu menuntut. Memang manusia dituntut untuk menjadi yang terbaik. Tapi baik yang dilihat orang lain, belum tentu baik bagi diri kita sendiri dan ada baiknya jika terjadi toleransi yang harmonis dan saling membangun [gaya' gini, gue!]

63 tahun bukan waktu yang singkat untuk berubah. Seharusnya sudah ada perubahan yang bisa kita nikmati. Ada. Saya yakin tidak. Oh...ya, lupa. Mana yah buktinya kalau kita adalah warga yang friendly [ini seringnya jadi jargon pariwisata kalau orang Indonesia tuh ramah-ramah, damn! kejebak lagi] tapi beberapa tahun lalu banyak terjadi perang saudara antar suku yang mengenaskan dan jauh dari sikap ramah.

Belum lagi rentetan jadwal pemilihan umum dari satu daerah ke daerah lain yang mengundang disharmonisasi *alah* warga. Masyarakat kita mudah diprovokasi oleh ketokohan dan materi. Janji mengadakan pemilu yang aman dan tenteram jauh dari harapan. Selalu saja ada kelompok yang tidak puas dan berusaha untuk mencari pembenaran atas dirinya agar menjadi yang paling benar dan sah. Waduh.... lagi lagi kita belum merdeka. Masih ikut-ikutan.

Terlalu jauh bila kita mengurusi arti kemerdekaan yang masih menjadi komoditi politik layak jual seperti kemiskinan, kelaparan, lapangan kerja dan lain-lain. Terlalu jauh malah.

[masih] MERDEKA ATOE [sudah] MATI


07 Agustus 2008

Mimpi dari Alexander

Meskipun kantong lagi nggak kompromi sama keinginan untuk nonton, tapi selalu ada jalan untuk mencari hiburan. Hebatnya lagi saya mendapat kesempatan untuk menonton dua judul sekaligus. And damn! great movies, dude. Worthly lah sama usaha, bahkan lebih malah. he..he..

Film pertama bertema pentingnya kejujuran. Ini mungkin film paling irit yang dibuat Hollywood. Sedikit scene tapi endingnya bikin gregetan bin mangkel. Tersudut mencari tahu siapa aktor antagonisnya. Phone Boots.

Film kedua ini yang membuat saya mendalami moral story nya.

Alexander

Mimpi yang besar bahkan dapat menumbangkan kejayaan dan kesuksesan. Mungkin ini yang coba di tuangkan oleh Oliver Stone si Directornya. Film ini juga membuat saya terheran-heran nggak percaya. Coba tebak apa. Ternyata Alexander itu absolutely Gay. Nggak percaya? Nonton aja deh. Buktiin sendiri kisah cinta Alexander dan Hiphaestian. Romeo and Juliet mah, lewaat.

Mimpi Alexander menaklukkan dunia justru membawanya kedalam kehancuran kekuasaan yang dibangunnya sendiri. Perpecahan dan chaos terjadi dimana-mana. Mimpinya belum terwujud dan terhenti di India. Ambisi yang ingin meneruskan kejayaan Phillips ayahnya.

Manusia memang harus memiliki mimpi dalam hidupnya. Karena dengan mimpi maka manusia memiliki harapan untuk hidup. Mimpi yang mendorong manusia berbuat lebih. Mimpi pula yang membuat hidup tertantang untuk menaklukkan putus asa dan keraguan.

Namun mimpi juga menjadi pembunuh, penyesalan dan kehancuran.
Tidak ada yang melarang untuk bermimpi seliar dan sebesar apapun namun harus tetap pada jalur yang manusiawi dan logis. Maka tidak salah bila Nabi Muhammad SAW menasehati agar tidak suka berkhayal yang nggak-nggak. Hasilnya bisa merugikan malah (yang porno apalagi buang jauh, deh)

Too much dream will kill you. He...he.. Menyitir sedikit dari lirik lagu Queen (too much love will kill you). Mimpi yang membuat kita terlena membuat kita menjadi pembual dan malas. Menciptakan ambisi yang kelewat batas dan terlalu memforsir kemampuan. Jadinya nggak maksimal dan terkesan dipaksakan. Sama halnya jika kita bermimpi menentukan arah hidup kita kedepan. Berbagai perencanaan dalam hidup yang kita susun ada baiknya penuh pertimbangan dan logis serta punya kemampuan untuk mewujudkannya.

Nggak lucu, dong. Kita sudah bicara kanan kiri sama orang-orang tentang hidup kita kedepan tapi malah nggak kesampaian. Lihat lagi kedalam diri kita. Kita terlalu banyak dituntut untuk merebut semua mimpi kita jadi kenyataan tapi kita lupa akan keterbatasan kita sebagai manusia. Ibaratnya jika di hidangkan makanan lezat di meja, kita tidak mungkin akan memakan semuanya. Anda harus memilih mana yang anda suka, bukan. Tentukan skala prioritas dalam diri kita agar tidak bias dan cenderung menambah tuntutan lebih.

Dulu saya menderita sindrom rumput tetangga lebih hijau. Eghm... bentar, basi. Okay, saya ganti. Sindrom wajah teman lebih cakep, aja. Mungkin anda juga pernah terkena sindrom seperti ini. Nggak terima kalau teman kita memiliki hal yang lebih dibandingkan kita dalam segala hal. Kemana-mana kita selalu menemukan orang yang jauh lebih kaya, lebih cakep, lebih pintar dan lebih segala-galanya. Tapi untungnya saya bukan penderita stadium akut. He..he.. masih bisa ngontrol keadaan *alah

Saya bermimpi seandainya saya memiliki lebih dari yang saya dapatkan sekarang (sssttt...sampai sekarang saya masih memimpikannya :P ) dan berharap hal tersebut terwujud. Yang terjadi malah saya semakin lebih konsumtif dan insecure, tidak bahagia dan terasa terlalu menuntut yang enggak-nggak. Capek.

Ini keadaan dimana kita kurang bersyukur. Kurang bersyukur dengan apa yang sudah kita dapatkan. Ajaibnya saya malah mencintai apa yang sudah saya dapatkan sekarang setelah "sembuh" dari sindroma itu. Mencoret satu persatu dengan warna merah semua daftar mimpi saya yang saya sendiri tidak mampu mewujudkannya.

Sebentar.........

Perasaan aneh menghantam saya. Saya kembali terbiaskan akan mimpi orang-orang besar para inventory person . Bukannya mereka memimpikan hal yang mustahil, tapi mereka berhasil mewujudkannya, bukan?

...................

Saya akan berkilah. "Toh, kita punya kemampuan yang berbeda. Tuhan memberikan mereka nilai lebih untuk mewujudkannya demi kemanusiaan, kan. Mereka juga jadi terkenal." Ha..ha.. maksa, ya. Ngeles nieh..

Mimpi masih menjadi komoditi yang laris. Buktinya sekarang. Semua yang ditawarkan oleh dunia ini membuat kita masih bermimpi meraihnya. Menunggu untuk diwujudkan.

Kita diwajibkan bermimpi. Dengan bermimpilah kehidupan masih bernapas. Bermimpilah sekarang dengan kemampuanmu sendiri. Selama ada jembatan untuk menyeberangi mimpi kita ke dunia realita, kenapa tidak. Jembatan itu sewaktu-waktu akan runtuh dimakan usia, direnggut kesempatan yang membuatnya kehilangan peluang. Tapi jangan lupa "berpegangan" agar tidak jatuh pada bias mimpi yang justru membuat kita tertidur pulas.

03 Agustus 2008

Binatang yang namanya MEDIA

Saya sadar sesadar-sadarnya kalau media itu ternyata "pembunuh" yang bahkan lebih kejam dari jagal jombang. Tuh, si Ryan. Media dapat membalikkan opini yang lurus menjadi berkelok bahkan hilang sama sekali, tenggelam. Media pula yang dapat mengangkat obyek kontradiktif menjadi legal dan mendapat legitimasi super benar. Kekuatan media terletak pada konten yang disuguhkan dan mau tidak mau kita dipaksa untuk terus melihat lalu membacanya, justru feed back nya itu yang nggak asyik. Kita telat meresponnya, nggak bisa langsung ngomong dan klarifikasi. Paling banter cuma ngedumel nggak jelas. Kecuali disini.... saya masih bisa :P

- bukannya saya dulu orang media, ya -
Okay itu dulu. Walaupun ada keinginan untuk balik lagi. Menjadi bagian dari "pembunuh" ini.

Percaya, nggak.

Seperti hari ini. Saya bertamu kerumah lama dengan harapan dapat mencairkan kebekuan otak saya yang terkungkung jauh kedalam rutinitas yang mengikat dan itu-itu saja *tsah. Ini cuma silahturahmi, tapi silahturahmi yang menyenangkan. Ya..... saya anggap untuk mengisi waktu luang lah, daripada bercumbu terus - terusan dengan guling apek kesukaan saya. Bosen juga, sih. (pengen guling yang laen, neh haa...ha..ha.. )

Key, balik lagi.

"Gimana negara kaya laennya mau nyumbang Indonesia yang miskin, kalau tayangannya kayak gini terus-terusan. Ini mah, namanya bunuh diri."

Saya tercenung. Ucapan Agung bener juga. Komentar nyeleneh dari mulutnya tentang pembangunan apartemen mewah, mansion dan sejenisnya yang dilakukan oleh pengembang kenamaan plus sering muncul bareng presenter silet nyang kesohor itu.

Ini yang dibilang media berdiri diantara pagar api. Disatu sisi media adalah sumur informasi yang menyuguhkan berbagai informasi yang berkembang dimasyarakat sesuai dengan idealisme media itu sendiri. Namun disisi lain, media juga tidak menolak memasukkan unsur-unsur yang bernilai ekonomi untuk menambah pundi-pundi keuangan biar tetap eksis.

Kontradiktif. Memang. Tapi, bukannya di dunia ini banyak yang kontradiktif, ya.
Amerika saja, punya standar ganda di politik luar negerinya. Apalagi yang namanya cuma sekelas Indonesia. Bisa saja, toh. Nggak aneh.

Tapi ini tentang binatang yang namanya media. Apa saja.

Setiap hari eh... tunggu bahkan setiap saat kita di suguhi tayangan yang menjauhkan kita dari sisi kemanusiaan kita. Saya kerucutkan untuk negeri kebanggaan saya ini saja.

Geli rasanya melihat anak muda Indonesia petantang-petenteng membawa HP model terbaru tapi buatan luar. Kok ya, bangga gitu. Emang kalau buatan negeri sendiri nggak keren, gitu. Trus ini, neh. Kulit kita orang Indonesia tuh kan memang eksotis. Sweet Brown gitu, lah. Tapi banyak yang memborong produk pemutih kulit untuk sekedar tampil putih. Sengaja atau tidak, kita sudah kehilangan identitas budaya kita sendiri. Jadinya ancur, kan kalau melihat orang berkulit gelap yang dipaksakan pakai produk pemutih hanya untuk mengikuti trend seperti yang di tayangkan di media.

Tetapi media juga sudah membunuh saya. Jujur saya ikut arus meskipun susah untuk keluar karena begitu kuatnya dia menyembunyikan rasa bersalahnya. Yeah... anda boleh bilang kalau saya munafik abis.

Itulah kekuatan media untuk membunuh. Bahkan dapat membunuh idealisme kita sendiri.